Berperang dengan Hawa Nafsu adalah lebih dahsyat dari Berperang di Medan Pertempuran! Hadis Riwayat Nabi Muhammad SAW.
Adalah elok kita kaji dan analisa secara terperinci bahawa Hadis diatas adalah kukuh dan sahih atau hanya Hadis Daif seperti ada pendapat yang mengatakan begitu.Bacalah rencana dan keterangan di bawah ini….
MENGKRITISI HADITS DHOIF JIHAD MELAWAN HAWA NAFSU
Posted on Desember 16, 2009 by Haroky2000
Meskipun keutamaan jihad fi sabilillah di atas amal perbuatan lain telah ditetapkan berdasarkan nash-nash syara’, akan tetapi ada sebagian kaum Muslim mema-hami, bahwa jihad melawan hawa nafsu (jihad al-nafs) merupakan jihad besar {jihad al-akbar} yang nilainya lebih utama dibandingkan dengan jihad fi sabilillah dengan makna perang fisik melawan orang-orang kafir. Mereka menyandarkan pendapat mereka pada sebuah sebuah hadits yang berbunyi:
“Kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar. Para shahabat bertanya, “Apa jihad besar itu? Nabi saw menjawab, “jihaad al-qalbi (jihad hati). ‘
Di dalam riwayat lain disebutkan jihaad al-nafs”.178(178 KanZ al-’Ummaal, juz 4/616; Hasyiyyah al-Baajuriy, juz 2/ 265)
Berdasarkan hadits ini, mereka berhujjah bahwa jihad memerangi orang kafir adalah jihad kecil (jihad al-ashghar), sedangkan jihad memerangi hawa nafsu adalah jihad besar (jihad al-akbar). Walhasil, jihad memerangi hawa nafsu memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan jihad memerangi orang-orang kafir. Sesungguhnya, kesimpulan semacam ini adalah kesimpulan salah, akibat kesalahan dalam memahami nash-nash syariat.
Adapun bantahan terhadap pendapat mereka adalah sebagai berikut;
Pertama, status hadits jihaad al-nafs lemah, baik ditinjau dari sisi sanad maupun matan. Dari sisi sanad, isnaad hadits tersebut lemah (dla’if). Al-Hafidz al-’Iraqiy menyatakan bahwa isnad hadits ini lemah. Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaaniy, hadits tersebut adalah ucapan dari Ibrahim bin ‘Ablah.179 (179 Lihat Imam al-Dzahabiy, Syiar A’laam al-Nubalaa’, juz 6/ 324-325. Di dalam kitab ini dituturkan, bahwasanya Mohammad bin Ziyad al-Maqdisiy pernah mendengar Ibrahim bin ‘Ablah berkata kepada orang-orang yang baru pulang dari peperangan (jihad), “Kalian baru saja kembali dari jihad kecil ffihaadal-ashghar), lantas, apayang kamu lakukan dalam jihad al-qalbiy.”
Al-Hafidz al-Suyuthiy juga menyatakan, bahwa sanad hadits ini lemah (dla’if).
Kedua, seandainya keabsahan hadits ini tidak perlu kita perbincangkan, maka lafadz jihad al-akbar yang tercantum di dalam hadits itu wajib dipahami dalam konteks literal umum; yakni perang hati atau jiwa melawan hawa nafsu dan syahwat serta menahan jiwa untuk selalu taat kepada Allah swt. Sebab, jihad menurut pengertian bahasa bisa bermakna perang maupun bukan perang. Sedangkan jihad kecil (jihaad al-ashghar) dalam hadits itu mesti dimaknai dalam konteks syar’iy dan ‘urfy, yakni berperang melawan orang-orang kafir di jalan Allah.180 (180 Dr. Mohammad Khair Haekal, al-Jihaad n>a al-Qitaal, juz 1/46)
Suatu lafadz, jika memiliki makna bahasa, syar’iy, dan ‘urfiy, harus dipahami pada konteks syar’iynya terlebih dahulu. Baru kemudian dipahami pada konteks ‘urfiy (konvensi umum), dan lughawiy (literal). Demikian juga kata jihaad. Lafadz ini mesti dipahami pada konteks syar’iynya terlebih dahulu, yakni berperang melawan orang kafir. Jika makna ini ingin dialihkan ke makna-makna yang lain, selain makna tersebut, harus ada qarinah (indika-tor) yang menunjukkannya. Lafadz jihad (jihad al-akbar) yang termaktub di dalam hadits jihaad al-nafs harus dibawa kepada pengertian literal secara umum.
Hanya saja, dalam konteks syar’iy dan konvensi umum, lafadz jihad harus dipahami perang melawan orang kafir (perang fisik), dan tidak boleh diartikan dengan perang melawan hawa nafsu dan syahwat.
Ketiga, dari sisi matan hadits (redaksi), redaksi hadits jihaad al-nafs di atas bertentangan nash-nash yang menuturkan keutamaan jihaad fi sabilillah di atas amal-amal kebaikan yang lain. Oleh karena itu, redaksi (matan) hadits jihad al-nafs wajib ditolak karena bertentangan dengan nash-nash lain yang menuturkan keutamaan jihad fi sabilillah di atas amal-amal perbuatan yang lain. Bahkan, para ulama yang memiliki kredibilitas ilmu dan iman telah menetapkan jihaad fi sabilillah sebagai amal yang paling utama secara mutlak. Adapun bukti yang menunjukkan bahwa jihad fi sabilillah adalah amal yang paling utama adalah sebagai berikut:
a.Al-Quran telah menempatkan jihad fi sabilillah (berperang di jalan Allah) sebagai amal yang paling utama dibandingkan amal-amal yang lain.
Allah swt berfirman di dalam al-Quran al-Karim;
“Katakanlah: “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan
yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khaivatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempattinggalyangkamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nja dan (dart) berjihad di jalan-Nja, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. ” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” [al-Taubah:24]
Di ayat yang lain, Allah swt berfirman:
“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orangyang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram, kamu samakan dengan orang-orangyang beriman kepada Allah dan hart kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama disisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang splim.” [al-Taubah:19]
Allah swt juga melebihkan orang yang berangkat ke medan perang di atas orang yang tidak berangkat perang. Al-Quran telah menyatakan hal ini:
“Tidaklah sama antara mu’minyang duduk (yang tidak turut berperang)jang tidak mempunyai u^ur dengan orang-orang yang berjihad dijalan Allah dengan harta mereka danjhvanya. Allah melebihkan orang-orangyang berjihad dengan harta dan jiwanja at as orang-orangyang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahalayang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang jang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar;(yaitu) beberapa derajat daripada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Nisaa’: 95-96]
Al-Quran juga menjelaskan balasan Allah swt atas semua waktu dan usaha yang dihabiskan oleh seorang mujahid ketika melaksanakan kewajiban jihad, serta kesibukan dirinya dengan aktivitas jihad. Hal ini telah dinyatakan dengan sangat jelas di dalam al-Quran;
“Tidaklah sepatutnya bagipenduduk Madinah dan orang- orang Arab Badwiyang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparanpadajalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. SesungguhnyaAllah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkahyang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula), karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apayang telah mereka kerjakan.” [al-Taubah: 120-121]
b.Al-Quran juga memuji mujahid di jalan Allah, serta perbuatan yang mereka lakukan.
Dalam hal ini Allah swt telah berfirman di dalam al-Quran;
[9.111] “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.”
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari a^abyangpedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasu/-Nya dan berjihad dijalan Allah dengan harta danjiwamu. Itulahyang lebih baik bagi kamujika kamu mengetahuinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surgayang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggalyang baik di dalam surga ^Adn. Itulah keberuntungan yang besar. ” [al-Shaff: 10-12]
c. Ada celaan dari Allah swt bagi orang yang meninggalkan jihad di jalan Allah swt.
Allah swt berfirman;
“Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya
sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. ” [al-Taubah: 39]
d. Di dalam hadits Rasulullah saw telah menyatakan dengan sangat jelas keutamaan jihad di atas amal kebaikan yang lain.
Di dalam hadits banyak disebutkan keutamaan jihad di atas amal kebaikan yang lain. Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Anas bin Malik ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“Berjaga-jaga pada saat berperang di jalan Allah lebih baik daripada dunia dan seisinya”. [HR. Imam Bukhari] Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, Turmudziy, dan lain-lain.
“Sesungguhnya, kedudukan kalian di dalam jihad di jalan Allah, lebih baik daripada sholat 60 tahun lamanya.” [HR. Imam Ahmad].
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudziy disebutkan, bahwa jihad lebih baik daripada sholat di dalam rumah selama 70 tahun.
Masih banyak lagi riwayat yang menuturkan keutamaan dan keagungan jihad di atas amal kebaikan yang lain.
Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa jihad melawan orang-orang kafir merupakan amal yang paling utama secara mutlak. Oleh karena itu, hadits yang menyatakan bahwa jihad al-nafs di atas jihad fi sabilillah (perang di jalan Allah) harus ditolak untuk menyelamatkan khabar dari pertentangan.
By Syamsuddin ramadlan al-Nawiy
Rencana pasal Nafsu Ammarah.
Nafsu ammarah salah satu dari tujuh nafsu dalam diri manusia. Secara harfiah amarah berarti mengajak atau menyuruh. Sedang nafsu itu sendiri berarti jiwa. Seperti apa wujudnya dalam tingkah laku sehari-hari?
NAFSU ammarah acap mengajak akal-pikiran manusia untuk berangan-angan. Biasanya dengan iming-iming yang menggiurkan: makan, minum, tidur, dan jima’ secara berlebihan.
Allah berfirman:
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahanku), karena sesungguhnya nafsu (ammarah) itu selalu menyuruh kepada kejahatan.”(QS. Yusuf, 53)
“Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf, 179)
Nafsu ammarah disebut juga nafsu binatang. Bahkan, Imam Ghazali dalam bukunya yang terkenal Ihya’ Ulumuddin menyebutnya dengan citraan yang lebih kontras: bahimiyyah dan sabu’iyyah (binatang ternak dan binatang buas).
Sifat binatang ternak dan binatang buas itu mengeram dalam diri manusia. Mulai dari jiwa sampai jasmaninya. Wujudnya dalam bentuk perilaku makan, minum, tidur, bersenggama, dan tempat yang serba berlebihan, tidak islami. Puncaknya: hubbud dun-ya wakarahatul maut (cinta dunia dan takut mati).
Pemelihara Jasmani
Ammarah salah satu nafsu yang meliputi jiwa manusia. Nafsu itu mewarnai segala perbuatannya yang serba berlebihan (tusrifu). Jika nafsu amarah telah menguasai akal-pikiran manusia, maka tabiatnya akan condong pada kehidupan yang serba mewah. Meski, untuk mencapainya harus menempuh jalan yang melanggar syariat Islam. Jika nafsu amarah telah menguasai akal-pikiran manusia, maka tabiatnya akan condong pada kehidupan yang serba mewah. Meski, untuk mencapainya harus menempuh jalan yang melanggar syariat Islam.
Namun di sisi lain nafsu ammarah juga berperan sebagai pemelihara hidup jasmani. Ini suatu tanda bahwa semua yang diciptakan Allah tidaklah sia-sia.
Nafsu ammarah sebetulnya bukan beban bagi manusia. Sebab nafsu ammarah juga berguna bagi manusia dalam memelihara jasadnya selama hidup di dunia.
Budak Dunia
Jika nafsu amarah menguasai diri manusia maka jadilah ia sebagai orang yang tamak, rakus, loba dan berbagai macam sifat tidak terpuji lainnya. Bahkan tidak sedikit yang lalai dalam urusan agama karena disibukkan urusan dunia.
Mereka suka bermegah-megahan, gemar menimbun kekayaan tanpa menghiraukan kewajiban berzakat. Mereka lebih senang menghabiskan harta di jalan setan (maksiat) daripada di jalan Allah. Mereka telah diperbudak dunia.
Tentang hal ini, ada hadist berbunyi:
“Wahai dunia, berkhidmatlah kepada orang yang berkhidmat kepada-Ku, dan perbudaklah orang yang mengabdi kepadamu!” (HQR. Al-Qudha’I, dari Ibnu Mas’ud)
Orang sering tak sadar, kehidupan dunia ini tak lebih dari fatamorgana. Dengan nafsu ammarah manusia sering berambisi ingin “memiliki dunia”. Ada rasa tidak puas dengan apa yang telah dikaruniakan Allah baginya.
Allah berfirman: “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Al-Imraan, 14)
Atau pada firman yang lain:
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al Anbiyaa’, 35)
Ammarah Bahimiyyah
Nafsu ammarah berbusana bahimiyyah itu identik dengan laku hidup binatang ternak dalam hal memenuhi kebutuhan jasmaninya. Tidak heran, orang yang jalan pikirannya dikuasai nafsu ammarah berbusana bahimiyyah laku-hidupnya sering seperti binatang ternak.
Dalam kaitan nafsu ammarah berbusana bahimiyyah kiranya perlu diperhatikan pengertian kalimat “berlebih-lebihan” atau “pemborosan” dan “sederhana”, sebagaimana acap disebut dalam Al Qur’an.
Pengertian “berlebih-lebihan” dan “pemborosan” ialah perbuatan yang melampaui batas yang wajar. Sedang “sederhana” ialah perbuatan menahan diri dari kemampuan maksimal yang dimilikinya. Dua pengertian tersebut tentu tidak lepas dari norma-norma syari’at islam.
Orang yang sering menggunakan hartanya untuk kemaksiatan dan kejahatan, baik lahir maupun batin, disebut “golongan manusia boros”. Pemboros, adalah saudara atau teman-teman setan. “Tidaklah setan mempunyai famili, melainkan bangsanya sendiri”.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” Al-Israa’ Ayat 27
Makan dan minum memang tidak dilarang, asal tidak berlebihan. Sesuai dengan firman Allah:
“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan”. (QS. Al A’raaf, 31)
Atau menurut Hadist Rasulullah SAW:
“Makanlah, minumlah, pakailah dan bersedakahlah jangan berlebih-lebihan dan janganlah untuk bermegah-megahan.” (HR Abu Daud dan Ahmad)
Memang, “jalan tengah” adalah yang tidak berlebih-lebihan. Termasuk urusan makan dan minum. Terbukti, penyakit kebanyakan faktor penyebab utamanya adalah berlebihan dalam soal porsi makan dan minum. Sebab, perut biasanya sumber penyakit dan seburuk-buruk tempat.
Ada hadist yang dengan amat bijaknya mengatur urusan perut ini:
“Tidak ada satu wadahpun yang diisi oleh bani Adam lebih buruk dari perutnya, cukuplah baginya beberapa suap untuk memperkokoh tulang belakangnya agar dapat tegak. Apabila tidak dapat dihindari baiklah sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum dan sepertiga lagi untuk napasnya”. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Ammarah Sabu’iyyah
Nafsu ammarah berbusana sabu’iyyah ialah nafsu yang sifatnya seperti binatang buas dalam cara mencari atau memenuhi kebutuhan jasmaninya. Seperti: makan, minum, tidur, kawin, dan sebagainya. Tidak heran, orang yang jalan pikirannya dikuasai nafsu ammarah berbusana sabu’iyyah maka dalam mencari dan memenuhi kebutuhan hidupnya ia acap berlaku seperti binatang buas.
Lihat saja tabiat orang yang dikuasai nafsu ammarah berbusana sabu’iyyah: sodok sana, sodok sini! Cengkeram sana, cengkeram sini! Sungguh sangat memprihatinkan.
Dengan kekuasaan, mereka merasa tinggi serta dapat menata si miskin. Dengan harta, mereka merasa terhormat kendati berbuat nista dan maksiat. Tahukah mereka apakah sebetulnya harta itu?
Allah berfirman:
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al Anfaal, 28)
Memang, sudah menjadi fitrah manusia untuk mencintai dan banyak keinginan dalam meraih kehidupan dunia. Namun demikian, tetap harus dipahami bahwa kenikmatan duniawi hanya sebatas kesenangan di dalam hidup yang fana.
Firman Allah:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini (syahwat), yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali Imran, 14)
Al Qur’an: Obat Mujarab
Pada jiwa setiap manusia memang sudah terdapat benih nafsu ammarah bersifat bahimiyyah maupun sabu’iyyah. Hanya frekuensinya yang berbeda. Maka itu, upaya mengendalikan ruang gerak nafsu ammarah itu perlu, sebagai ikhtiar untuk mencapai kemuliaan rohaniah.
Untuk itu, Allah telah menurunkan Al Qur’n sebagai penawar yang sangat mujarab terhadap penyakit apa saja. Penyakit lahir maupun batin. Bahkan Al Qur’an juga menjadi rahmat bagi setiap orang yang beriman, dan bukan orang yang zalim:
Sebagaimana firman-Nya:
“Dan kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’aân itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Israa’, 82)
Penawar Nafsu Ammarah
Penawar nafsu ammarah meliputi tiga tahapan. Yaitu: (1) ilmu ma’rifah; (2) dzikrullah yang kontinyu, dan (3) mujahadah.
Berkaitan ilmu ma’rifah hendaklah seseorang belajar ilmu-ilmu tentang sekitar aib nafsu. Untuk itu, tentu perlu bimbingan seorang ulama alias Syekh Mursyid. Ilmu ma’rifah tentu tidak lepas ilmu tauhid.
Untuk itu, perlu pengenalan hakikat diri lahir- batin. Jika orang telah mengenal dirinya secara kaffah (sempurna), niscaya ia tidak akan mudah tertipu oleh dirinya sendiri. Sebab, musuh yang paling berbahaya dan pandai menipu adalah diri sendiri. Yang dimaksud diri ialah nafsu fujur (jiwa fasik) alias nafsu ammarah.
Manusia yang tidak mengenal dirinya, lahir maupun batin, akan terombang-ambing oleh tipuan nafsu ammarah. Akibatnya, ia mudah tergiur oleh bujuk rayu setan. Dan setan bersembunyi di dalam dirinya sendiri.
Allah berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Az-Zalzalah, 7-8)
Dzikrullah yang kontinyu juga merupakan sarana pembersih jiwa. Sesuai dengan firman (?) Allah:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat (berhubungan dengan Tuhannya)”.(QS. Al A’laa, 14-15)
Zikir yang terus menerus dapat menenangkan jiwa. Tidak akan tenang jiwa seseorang melainkan jika jiwanya dalam keadaan bersih dari kotoran maksiat. Dan tidak akan bersih jiwa seseorang melainkan dengan menjalankan zikir yang terus menerus.
Dan sebaik-baik dzikrullah bagi orang-orang yang masih pada tahapan pembersihan serta menundukkan nafsu ammarah ialah zikir nafi itsbat: لاَاِلَهَ اِلاَّاللهُ
Laa Ilaaha Illallaah (Tidak ada tuhan kecuali Allah”. Hal itu harus dilakukan terus menerus. “Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berdo’a: “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Ar-Ruum, 32)
Cara lain: dengan cara mujahadah. Artinya, memerangi hawa nafsu dengan cara menghindari segala bentuk kemaksiatan lahir maupun batin. Juga melawan gejolak kehendak jiwa yang mengajak untuk berbuat nista dan yang menghalangi tujuh anggota sujud.
Jika seseorang telah mengetahui hakikat kehidupan dunia dan menetapkan dzikrullah secara terus menerus, niscaya ia akan selalu kuat jiwanya dalam menghadapi segala kondisi yang memperdayakan. Akal dan pikirannya tidak mengikuti gejolak hawa nafsu yang selalu mengajak berkhayal dan berbuat kejahatan.
Maka jika seseorang telah mampu mengendalikan hawa nafsunya, niscaya tampaklah sifat dan perbuatannya tidak dibuat-buat. Atau sekadar terpaksa dalam mengamalkan syari’at Islam.
Tentang hal ini Allah pun berfirman:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna.” (QS. Almu’minun, 1-3)
Tiga tahapan yang meliputi ilmu, zikir, dan mujahadah tersebut tentu saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Tidak dapat seseorang mencapai kebersihan diri (nafsu) bila sekadar mengamalkan zikir. Atau mengamalkan salah satu di antara ketiganya.
sumber : Pesantren Akmaliah